Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 30]
Jumat, 26 Januari 2018

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini bisa berjumpa kembali dalam seri ‘Mengenal Tauhid’ dengan memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah.

Pada bagian sebelumnya, telah dibahas tentang keteladanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sosok yang telah merealisasikan tauhid. Hal ini juga memberikan pelajaran bagi kita bahwa untuk bisa merealisasikan tauhid manusia dituntut untuk mengikuti jalan para pendahulu yang baik; orang-orang yang telah dijadikan Allah sebagai teladan bagi umat manusia.

Sebagai umat akhir zaman, maka kita diwajibkan untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31). Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diperintahkan untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus; beribadah kepada Allah dan menjauhi syirik.

Tidak Melakukan Perbuatan Syirik

Pada kesempatan ini kita akan melanjutkan dalil berikutnya yang dibawakan oleh penulis Kitab Tauhid untuk menunjukkan sifat-sifat orang yang merealisasikan tauhid. Dalil itu adalah firman Allah (yang artinya), “Dan orang-orang yang terhadap Rabb mereka tidak mempersekutukan.” (al-Mu’minun : 59). Ayat ini menunjukkan bahwa kaum yang merealisasikan tauhid adalah mereka yang tidak mempersembahkan ibadahnya sedikit pun kepada selain Allah. Orang-orang yang merealisasikan tauhid itu tidak berbuat syirik baik secara terang-terangan maupun yang tersembunyi (lihat al-Mulakhosh fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 35)

Dalam merealisasikan tauhid manusia bisa dibagi menjadi dua tingkatan; tingkatan wajib dan tingkatan yang mustahab/sunnah. Tingkatan wajib adalah meninggalkan syirik, bid’ah dan maksiat. Adapun tingkatan yang sunnah adalah tidak menyisakan di dalam hatinya kecenderungan atau kehendak untuk condong kepada selain Allah; artinya hatinya condong kepada Allah secara penuh, tidak mau berpaling kepada selain-Nya. Apabila dia berbicara maka karena Allah, apabila berbuat juga karena Allah, bahkan gerak-gerik hatinya juga karena Allah. Tingkatan ini sering diungkapkan oleh sebagian ulama dengan bahasa; meninggalkan sesuatu yang pada asalnya tidak masalah karena khawatir terseret kepada hal-hal yang bermasalah; dari hal-hal yang berkaitan dengan amalan hati, lisan, dan anggota badan (lihat at-Tam-hid, hlm. 33)

Perealisasian tauhid itu pada dasarnya berporos pada dua kalimat syahadat. Kalimat laa ilaha illallah mengandung pemurnian diri dari syirik kepada Allah sedangkan kalimat syahadat anna Muhammadar rasulullah mengandung pemurnian dari bid’ah dan maksiat. Konsekuensi laa ilaha illallah adalah tidak menujukan ibadah kepada selain Allah. Adapun konsekuensi syahadat Muhammad rasulullah adalah; membenarkan beritanya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan beribadah kepada Allah dengan tuntunan dan ajarannya, bukan dengan bid’ah dan hawa nafsu. Dari sini kita bisa membagikan orang-orang yang tidak merealisasikan tauhid menjadi tiga golongan; musyrik atau kafir, ahli maksiat, dan pelaku bid’ah (lihat at-Tam-hid, hlm. 33-34)

Oleh sebab itu di dalam ayat ke-59 dari surat al-Mukminun tersebut Allah menyebutkan salah satu sifat kaum yang merealisasikan tauhid itu adalah mereka tidak mempersekutukan Rabb mereka. Artinya mereka tidak mengangkat hawa nafsu sebagai sesembahan selain Allah. Karena orang yang mengangkat hawa nafsu sebagai pujaan selain Allah niscaya akan melakukan bid’ah dan maksiat, dan tentu saja kekafiran dan kemusyrikan. Dengan demikian dinafikannya syirik di dalam ayat tersebut juga mencakup penafian terhadap bid’ah dan maksiat (lihat at-Tam-hid, hlm. 38)   

Dengan demikian ‘tidak berbuat syirik’ itu memiliki makna yang luas yang tercakup di dalamnya adalah meninggalkan maksiat. Karena maksiat dalam makna yang luas juga merupakan bentuk dari syirik. Karena ia muncul dari hawa nafsu yang menyimpang dari syari’at. Allah berfirman (yang artinya), “Bagaimanakah menurutmu tentang keadaan orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan.” (al-Jatsiyah : 23) (lihat al-Qaul al-Mufid, 1/90)

Namun hal ini tidak berarti orang yang merealisasikan tauhid itu sama sekali tidak berbuat maksiat atau dosa. Karena setiap anak Adam pasti punya banyak kesalahan. Manusia tidak ma’shum. Akan tetapi apabila mereka terjerumus dalam maksiat mereka pun segera bertaubat dan tidak meneruskan maksiatnya itu. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri mereka sendiri maka mereka pun mengingat Allah lalu memohon ampunan bagi dosa-dosa mereka, dan siapakah yang bisa mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka tidak terus-menerus melakukan perbuatan itu dalam keadaan mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran : 135) (lihat al-Qaul al-Mufid, 1/90-91)  

Orang yang merealisasikan tauhid itu mengangap dosanya sebagai perkara besar yang akan mengancurkan kehidupannya. Dia melihat bahwa dosa-dosa itu seperti sebuah gunung yang bisa runtuh menimpa dirinya. Berbeda dengan orang yang fasik dan meremehkan maksiat; dia akan melihat bahwa dosanya itu sepele dan ringan seperti seekor lalat yang hinggap di depan hidungnya kemudian dia usir dengan jarinya dengan mudah. Oleh sebab itu orang yang merealisasikan tauhid akan selalu memperbaharui taubat saat teringat maksiat dan dosa yang pernah dilakukannya. Bukanlah orang yang merealisasikan tauhid apabila dia justru bangga dengan maksiatnya, atau meremehkan dosa, merasa dosanya sudah terampuni dan amalnya pasti diterima…

Cara Memandang Dosa

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah sebuah gunung. Dia khawatir kalau-kalau gunung itu roboh menimpa dirinya. Adapun orang yang fajir melihat dosa-dosanya seperti lalat yang lewat di atas hidungnya kemudian dia halau demikian -seraya beliau gerakkan jarinya di depan hidungnya-.”

Ucapan Ibnu Mas’ud di atas menunjukkan kepada kita bahwa dosa-dosa adalah sebab kebinasaan. Apabila dosa itu terus dipelihara dan pelakunya tidak bertaubat darinya. Oleh sebab itu salah satu tanda kebahagiaan seorang adalah, “Apabila berbuat dosa maka dia pun beristighfar.” Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.

Memohon ampunan dan bertaubat atas dosa adalah jalan menuju kebahagiaan. Sebaliknya bertahan di atas dosa-dosa dan tidak mau bertaubat adalah sebuah kezaliman. Allah dengan sifat rahmat dan maghfirah-Nya berkenan untuk mengampuni dosa-dosa apa pun bentuknya dan sebesar apapun dosa itu, selama mereka mau bertaubat darinya.

Keimanan seorang hamba kepada Allah membuka harapan atas ampunan-Nya dan rasa takut akan azab-Nya. Sehingga harap dan takut dalam dirinya laksana dua buah sayap seekor burung yang terbang dengan kedua sayapnya itu. Maka demikianlah keadaan seorang hamba yang mengabdi kepada Allah; dia mengepakkan ubudiyah kepada Allah dengan sayap harap dan takut kepada-Nya. Inilah keadaan kaum mukminin pengikut para nabi. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang salaf, “Tidaklah seorang hamba takut kecuali atas dosa-dosanya, dan tidaklah dia berharap kecuali kepada Rabbnya.”

Melakukan dosa berarti menorehkan noda hitam di dalam hati dan mengundang kemurkaan Allah. Apalagi apabila perbuatan dosa itu disertai dengan perasaan aman dari makar Allah, merasa aman dari siksaan dan hukuman-Nya. Maka tentu lebih besar kemurkaan Allah dan hukuman yang pantas dijatuhkan kepadanya. Lihatlah kondisi orang yang fajir yang digambarkan oleh Ibnu Mas’ud dalam ucapan beliau di atas. Orang itu melihat dosa-dosanya hanya seperti seekor lalat. Dia meremehkannya dan menganggapnya suatu hal yang sepele.

Dalam sebuah doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu -manusia terbaik setelah para nabi- disebutkan bahwa beliau mengajari Abu Bakar untuk berdoa ‘Allahumma inni zhalamtu nafsii zhulman katsiira…’ dalam riwayat lain disebutkan ‘zhulman kabiira’ artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan banyak kezaliman” atau “dengan kezaliman yang sangat besar.”

Hal ini menunjukkan bahwa semestinya seorang hamba menyadari dan mengakui akan betapa banyak dosa dan kezaliman yang telah dilakukannya. Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal yaitu ‘selalu menelaah aib/cacat pada diri dan amalan’. Sehingga dia selalu sadar bahwa amal yang dia lakukan jauh dari kesempurnaan, karena keburukan dan dosa yang dia kerjakan telah mengotori hati dan jiwanya. Dengan sikap semacam inilah akan tumbuh dalam dirinya perendahan diri sepenuhnya kepada Allah.

Oleh sebab itu, sebagian salaf berkata, “Apabila seorang telah mengenali kadar dirinya maka jadilah hawa nafsunya itu lebih hina daripada seekor anjing.” Seorang yang mengenali hakikat hawa nafsu yang mengajak kepada keburukan dan melihat dirinya sering terseret oleh hawa nafsu itu sehingga melanggar aturan-aturan Allah, maka dia akan melihat dirinya begitu hina dan rendah karena telah diperbudak oleh hawa nafsunya. Bahkan bisa jadi lebih hina daripada anjing.

Para ulama salaf mengajarkan kepada kita untuk memandang dosa sebagai suatu hal yang sangat menjijikkan dan benar-benar membahayakan. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian mereka, “Seandainya dosa-dosa itu memiliki bau niscaya tidak akan ada yang mau duduk/berteman denganku.” Mereka tidak memandang dirinya suci dan bersih dari dosa. Sebagian mereka juga mengatakan, “Janganlah kamu melihat kepada kecilnya kesalahan, akan tetapi lihatlah kepada siapa kamu melakukan kedurhakaan.”

Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya kalian akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian ia lebih ringan daripada rambut, padahal kami dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggapnya sebagai perkara yang membinasakan.” (HR. Bukhari)

Sebagian ulama mengatakan, “Aku mencintai orang-orang salih sementara aku bukanlah termasuk dalam golongan mereka. Dan aku membenci orang-orang yang jahat sementara aku sendiri lebih buruk daripada keadaan mereka.” Hal ini menunjukkan ketawadhu’an mereka yang luar biasa. Sebuah pengakuan yang menunjukkan kesadaran mereka akan keagungan hak Allah dan ketidaksempurnaan amal dan ketaatan yang mereka kerjakan.

Di dalam sayyidul istighfar pun kita diajarkan untuk mengakui dosa-dosa yang telah kita lakukan. Sebagaimana disebutkan dalam penggalan doa ini ‘abuu’u bi dzanbii’ artinya, “Aku mengaku kepada-Mu akan segala dosaku…” Demikianlah semestinya keadaan seorang hamba. Dia merendah diri dan menunduk di hadapan Allah jalla wa ‘ala.

Kita pun teringat akan hadits yang menceritakan tentang tujuh golongan manusia yang diberi naungan oleh Allah pada hari kiamat. Diantara mereka itu adalah, “Seorang lelaki yang mengingat Allah dalam keadaan sepi/sendirian, lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Seorang hamba akan terus berjalan dan berjalan untuk menggapai cita-citanya. Karena kerinduannya yang sangat besar kepada Rabbnya. Dia sadar bahwa dunia ini laksana pohon yang sekedar dia gunakan untuk berteduh dan singgah sementara di bawahnya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang salaf, “Tidak ada bagi seorang mukmin waktu untuk benar-benar beristirahat kecuali ketika dirinya sudah berjumpa dengan Allah.”

Ketika dosa demi dosa telah mewarnai dan mengotori lembaran hidupnya tidak ada pilihan lain kecuali membasuhnya dengan air mata taubat dan tangisan penyesalan. Seraya dia berdoa kepada Allah agar membersihkan jiwanya dan mengaruniakan takwa ke dalam hatinya.

Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Allahumma aati nafsii taqwaahaa, wa zakkihaa, anta khairu man zakkaahaa, anta waliyyuhaa wa maulaahaa’ artinya, “Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia. Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya, Engkau adalah penolong dan pembimbing atasnya.” (HR. Muslim)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi dirinya sendiri maka mereka pun ingat kepada Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapakah yang mengampuni dosa-dosa kecuali Allah.” (Ali ‘Imran : 135)

Para salaf kita dahulu melakukan kebaikan-kebaikan sementara mereka merasa dirinya penuh dengan dosa dan kesalahan. Sementara sebagian orang di masa kini bisa jadi melakukan berlapis-lapis keburukan dalam keadaan dirinya merasa berjasa dan menumpuk prestasi yang mengagumkan. Aduhai, semoga kita tidak termasuk orang yang demikian itu…

Khawatir Amalan Lenyap Tanpa Sadar

Imam Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Shahihnya di Kitab al-Iman sebuah bab dengan judul “Bab. Rasa takut seorang mukmin dari lenyapnya amalannya dalam keadaan dia tidak menyadarinya”. Di dalamnya beliau membawakan perkataan para ulama salaf yang menunjukkan betapa besar rasa takut mereka terhadap hal ini. Takut kalau-kalau apa yang selama ini mereka lakukan ternyata tidak bermanfaat di sisi Allah ta’ala. Padahal, mereka adalah mereka…

Imam Ibnu Baththal rahimahullah menerangkan bahwa tujuan Imam Bukhari dengan bab ini adalah dalam rangka membantah sekte Murji’ah yang mengatakan bahwasanya Allah sama sekali tidak akan mengazab karena kemaksiatan terhadap orang yang telah mengucapkan laa ilaha illallah. Menurut Murji’ah pula, amalan pelaku maksiat tidak akan terhapus dengan sebab dosa apapun. Dengan latar belakang itulah Imam Bukhari membawakan di awal bab ini ucapan para imam dari kalangan tabi’in dan juga penukilan dari para Sahabat yang menunjukkan bahwasanya meskipun mereka adalah orang-orang yang memiliki keutamaan dan kesungguhan dalam beramal namun ternyata mereka masih menganggap sedikit amalannya dan mereka takut kalau-kalau dirinya tidak akan selamat dari azab Allah (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/110])

Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Tidaklah aku membandingkan ucapanku dengan perbuatanku kecuali aku khawatir termasuk pendusta.” Ibrahim at-Taimi adalah salah seorang fuqaha tabi’in dan ahli ibadah diantara mereka. Maksud ucapan beliau adalah: Aku takut orang yang melihat amalanku akan mendustakanku ketika perbuatanku bertentangan dengan apa yang aku katakan. Sehingga orang akan berkata, “Seandainya kamu jujur niscaya kamu tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ucapanmu.”

Beliau mengucapkan itu karena beliau sering memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang-orang. Sebagai orang yang biasa memberikan nasehat kepada orang lain, beliau menyadari bahwa dirinya tidak bisa mencapai puncak kesempurnaan amalan. Di sisi lain, beliau juga mengetahui bahwa Allah mencela orang yang memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar namun tidak beramal dengan baik. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Amat besar kemurkaan di sisi Allah, ketika kalian mengucapkan apa-apa yang kalian sendiri tidak lakukan.” (ash-Shaff: 3). Oleh karena itu beliau khawatir dirinya termasuk pendusta atau menyerupai perilaku para pendusta (lihat Fath al-Bari [1/136-137])

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua takut kemunafikan menimpa dirinya. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa keimanannya sejajar dengan keimanan Jibril dan Mika’il.” Para Sahabat yang ditemui oleh Ibnu Abi Mulaikah ketika itu -yang paling mulia diantara mereka- adalah ‘Aisyah, Asma’, Ummu Salamah, Abdullah bin ‘Abbas, Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin ‘Amr, Abu Hurairah, ‘Uqbah bin al-Harits, dan al-Miswar bin Makhramah.

Perasaan itu muncul dalam diri mereka disebabkan seorang mukmin terkadang amalannya tercampuri oleh hal-hal yang bertentangan dengan keikhlasan. Bukan berarti, apabila mereka takut akan hal itu mereka benar-benar terjerumus ke dalamnya. Akan tetapi itu semua dikarenakan kesungguhan mereka dalam hal wara’/kehati-hatian dan ketakwaan. Mereka menyadari bahwa keimanan manusia tidaklah seperti keimanan Jibril yang tidak pernah tertimpa kemunafikan. Mereka menyadari iman manusia itu bertingkat-tingkat, tidak dalam derajat yang sama. Tidak sebagaimana orang-orang Murji’ah yang beranggapan bahwa keimanan orang-orang yang paling baik (kaum shiddiqin) sama dengan keimanan selain mereka (lihat Fath al-Bari [1/137])

Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah merasa takut darinya (kemunafikan) kecuali orang mukmin.” Ja’far al-Firyabi mengatakan: Qutaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata: Ja’far bin Sulaiman menuturkan kepada kami, dari al-Mu’alla bin Ziyad. Dia berkata: Aku mendengar al-Hasan bersumpah di dalam masjid ini, “Demi Allah, yang tidak ada sesembahan -yang benar- selain Dia. Tidaklah berlalu dan hidup seorang mukmin melainkan dia pasti merasa takut dari kemunafikan. Dan tidaklah berlalu dan hidup seorang munafik melainkan dia merasa aman dari kemunafikan.” Beliau (Hasan al-Bashri) berkata, “Barangsiapa yang tidak khawatir dirinya tertimpa kemunafikan maka dialah orang munafik.” (lihat Fath al-Bari [1/137])

Berbuat Baik Tapi Merasa Khawatir

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang karena rasa takut mereka kepada Rabbnya maka mereka pun dirundung oleh rasa cemas. Orang-orang yang mengimani ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka. Begitu pula orang-orang yang memberikan apa yang mampu mereka sumbangkan sementara hati mereka diwarnai dengan rasa takut, bagaimana keadaan mereka kelak ketika dikembalikan kepada Rabb mereka. Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam melakukan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang terdahulu melakukannya.” (al-Mu’minun: 57-61)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bersama dengan kebaikan, keimanan, dan amal saleh yang ada pada diri mereka ternyata mereka juga senantiasa merasa takut dan khawatir akan hukuman Allah serta makar-Nya kepada mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan al-Bashri, “Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dengan rasa takut. Adapun orang kafir memadukan antara berbuat jelek/dosa dan rasa aman.”.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/350] cet. Maktabah at-Taufiqiyah).

Isma’il bin Ishaq menyebutkan riwayat dengan sanadnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa suatu ketika dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang-orang yang dimaksud oleh ayat (yang artinya), “Orang-orang yang memberikan apa yang telah berikan, sedangkan hati mereka merasa takut.” (al-Mu’minun: 60). Maka Nabi menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang rajin menunaikan sholat, berpuasa, dan bersedekah. Meskipun demikian, mereka merasa takut apabila amal-amal mereka tidak diterima di sisi-Nya.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/110])

Mendeteksi Nasib Amalan

Setiap muslim mengharap agar amalnya diterima di sisi Allah. Namun, perlu diingat bahwa sekedar harapan tidaklah cukup. Harapan harus dibarengi dengan usaha dan upaya.

Diantara upaya paling pokok untuk bisa meloloskan amal agar bisa diterima Allah adalah dengan melandasi amal tersebut dengan niat yang lurus. Karena dengan niat yang lurus maka amal-amal itu akan bisa bernilai kebaikan dan mendapatkan ganjaran. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘innamal a’maalu bin niyaat’ yang artinya, “Sesungguhnya setiap amal dinilai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Meluruskan niat maknanya adalah ‘meniatkan amal itu sebagai bentuk ibadah dan penghambaan kepada Allah’, bukan semata-mata kebiasaan apalagi sekedar main-main. Inilah yang biasa disebut oleh para ulama fikih dengan niat amalan. Seperti misalnya niat sholat, niat puasa, dsb. Contohnya mandi pada hari jum’at bagi seorang lelaki muslim dewasa. Hal ini akan bisa bernilai pahala apabila dia niatkan untuk menjalankan sunnah, yaitu mandi pada hari jum’at. Namun, apabila dia hanya melakukan aktifitas mandi sebagai rutinitas belaka, tanpa ada niat dalam hati untuk menjalankan sunnah, maka hal itu tidak bernilai ibadah di sisi Allah. Hanya menjadi kebiasaan saja.

Di sisi lain, meluruskan niat ini juga dimaknakan dengan mengikhlaskan amal tersebut untuk Allah. Niat semacam ini biasa disebut dengan istilah niat ‘ma’mul lahu’ atau niat untuk siapa amal itu ditujukan. Artinya, segala amal kebaikan yang kita lakukan haruslah murni karena Allah dan mencari pahala dari-Nya, bukan untuk mencari pujian atau kedudukan di mata manusia. Inilah yang Allah perintahkan dalam ayat-Nya (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Dengan kata lain, amal itu harus bersih dari syirik dan riya’. Bersih dari syirik maksudnya terbebas dari segala bentuk syirik akbar atau kekafiran akbar yang menyebabkan pelakunya keluar dari islam. Sebab apabila pelakunya sudah keluar dari Islam alias murtad maka semua amalnya tidak akan diterima di sisi Allah. Bersih dari riya’ maksudnya terbebas dari berbagai bentuk syirik ashghar yang membuat pahala amalan tersebut menjadi lenyap. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh apabila kamu berbuat syirik pastilah lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Mengikhlaskan amal untuk Allah bukanlah perkara ringan. Sebagian salaf berkata, “Tidaklah aku berjuang dengan keras dalam menundukkan jiwaku dengan perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan demi mencapai ikhlas.” Sebagian mereka juga mengatakan, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih sulit daripada niatku, karena ia kerapkali berbolak-balik.” Bahkan sebagian ulama berkata, “Sesuatu yang paling mahal/sulit di dunia ini adalah ikhlas.”

Sebuah amal yang sama bisa mendatangkan balasan yang berbeda disebabkan kondisi hati dan niat yang berbeda pada diri pelakunya. Oleh sebab itu para ulama kita semacam Ibnul Qayyim, Syaikh as-Sa’di dan yang lainnya menyatakan, bahwa ‘sesungguhnya amal-amal itu berbeda-beda tingkat keutamaannya bergantung pada apa-apa yang bersemayam di dalam hati pelakunya; yaitu keikhlasan dan keimanan’. Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil karena niat.” 

Kalimat syahadat tidak ada harganya apabila tidak dilandasi dengan keikhlasan. Begitu pula sholat, zakat, sedekah, haji, jihad, dakwah, amar ma’ruf dan nahi mungkar. Semua amalan akan menjadi sia-sia bahkan menelurkan dosa apabila keikhlasan tidak menghiasi hati para pelakunya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka lakukan, lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

Sebuah kesalahan saja -dalam perkara akidah dan iman- bisa menyebabkan seluruh amalan tidak diterima. Seperti kasus yang menimpa sebagian penduduk Bashrah yang menganut paham qadariyah/mengingkari takdir. Dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma tentang keadaan mereka itu, “Seandainya salah seorang mereka ada yang berinfak dengan emas sebesar Uhud maka Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada takdir.” (HR. Muslim)

Hal ini menunjukkan bahwa mengingkari salah satu rukun iman atau tidak meyakininya adalah termasuk kekafiran yang membatalkan agama. Dengan sebab itulah semua amal yang dilakukannya tidak bisa mendatangkan pahala; karena ia dilandasi dengan kekafiran. Padahal, apabila kita cermati, perkara iman kepada takdir ini adalah berkaitan dengan urusan hati. Dan sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa masalah hati adalah sesuatu yang amat samar.

Dengan demikian, seorang muslim harus senantiasa waspada. Seorang muslim tidak boleh merasa aman apalagi menjamin bahwa amalnya pasti diterima Allah. Seorang muslim harus berada diantara rasa harap dan cemas. Berharap amalnya diterima, walaupun amalnya banyak menyimpan aib dan kekurangan. Di sisi lain, dia juga cemas apabila amal-amal itu tidak diterima karena faktor-faktor tersembunyi yang dapat menghapus pahala amal-amalnya. Imam Bukhari rahimahullah di dalam kitab sahihnya membuat bab dengan judul ‘bab rasa takut seorang mukmin akan terhapusnya amalnya dalam keadaan tidak disadari olehnya’.   

Sebagian salaf ada yang mengatakan, “Seandainya aku bisa mengetahui bahwa Allah telah menerima dariku satu kali sujud saja, niscaya aku mengangankan untuk mati sekarang juga.” Hal itu karena Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah hanya akan menerima -amal- dari orang-orang yang bertakwa.” Artinya; apabila amalan orang itu diterima Allah maka itu maknanya dia termasuk orang yang bertakwa. Sementara balasan bagi orang yang bertakwa dan mati di atasnya adalah surga.

Oleh sebab itu penting bagi kita untuk menyadari hakikat diri kita masing-masing. Jangan sampai kita terpedaya dan terbuai oleh sanjungan dan pujian manusia. Allah yang lebih mengetahui keadaan diri kita, bahkan Allah lebih mengerti tentang kita daripada diri kita sendiri. Adapun orang lain hanyalah melihat dari apa yang tampak saja bagi mereka. Oleh sebab itu, sungguh indah ucapan sebagian ulama, “Orang yang berakal itu adalah yang mengerti hakikat dirinya sendiri dan tidak terpedaya oleh sanjungan orang yang tidak mengenali seluk-beluk dirinya.”  

Suatu ketika, Imam Ahmad diberi tahu oleh seorang muridnya yang bernama Abu Bakar mengenai pujian dan penghargaan manusia kepada beliau. Maka Imam Ahmad bin Hanbal -seorang imam ahlus sunnah dan pejuang akidah- menjawab, “Wahai Abu Bakar, apabila seorang itu telah mengerti tentang hakikat dirinya maka tidaklah berguna baginya ucapan orang.” Dikisahkan pula, ketika mendengar doa yang diucapkan oleh sebagian orang untuk beliau -sebagai ekspresi penghargaan dan kekaguman- maka beliau menanggapinya seraya menukil hadits ‘innamal a’maalu bil khawaatim’ yang artinya, “Sesungguhnya amal-amal itu ditentukan oleh akhirnya.”

Seolah-olah beliau ingin mengatakan kepada orang-orang bahwa ‘Amalan kita belum tentu diterima. Sebab amal-amal itu akan ditentukan nanti pada akhirnya. Apakah kita bisa mati di atas iman ataukah tidak. Jadi, jangan merasa aman dan hebat dengan amal yang kita lakukan’. Dengan keyakinan dan perasaan semacam inilah para ulama kita mengajarkan. Ibnu Abi Mulaikah mengatakan, “Aku berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan.”

Akankah kita merasa aman? Pantaskah kita merasa diri hebat dan jagoan?

Mengenal Tawadhu’

al-Hasan berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ itu adalah ketika kamu keluar dari rumahmu, maka tidaklah kamu bertemu seorang muslim melainkan kamu melihat dirinya memiliki suatu kelebihan di atas dirimu.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/119)

Abdullah bin al-Mubarok pernah ditanya mengenai ujub. Maka beliau menjawab, “Yaitu ketika kamu melihat pada dirimu ada sesuatu -keutamaan- yang tidak ada pada selainmu.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/119)

Fudhail berkata, “Barangsiapa yang mencintai/ambisi kepemimpinan maka dia tidak akan beruntung selamanya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/125)

Ayyub as-Sakhtiyani berkata, “Apabila disebutkan mengenai orang-orang salih maka aku merasa diriku bukan termasuk golongan mereka.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/126)

Imam Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah yang tidak melihat kedudukannya. Dan orang yang paling banyak keutamaannya adalah yang tidak melihat keutamaannya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/126)

Ibnul Mubarok berkata, “Apabila seorang telah mengenali kadar dirinya sendiri maka jadilah dirinya itu jauh lebih hina daripada anjing.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/128)

Sufyan berkata, “Apabila kamu telah mengenali jati dirimu maka tidaklah membahayakanmu apa yang diucapkan orang-orang.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/128)

Qatadah berkata, “Barangsiapa yang diberikan harta, keelokan rupa, pakaian, atau ilmu kemudian dia tidak tawadhu’ di dalamnya maka itu akan berubah menjadi bencana baginya kelak pada hari kiamat.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/129)

Bakr bin Abdullah al-Muzani berkata, “Apabila kamu melihat seorang yang lebih tua darimu maka katakanlah -di dalam hatimu- bahwa orang ini telah mendahuluiku dalam hal iman dan amal salih. Maka dia lebih baik dariku. Apabila kamu melihat orang yang lebih muda darimu maka katakanlah bahwa aku telah mendahuluinya dalam hal berbuat dosa dan maksiat. Maka dia lebih baik dariku. Apabila kamu melihat saudara-saudaramu memuliakanmu dan mengagungkanmu maka katakanlah bahwa ini adalah sebuah keutamaan yang mereka kerjakan. Apabila kamu melihat pada diri mereka ada suatu kekurangan/sikap kurang sopan maka katakanlah bahwa ini adalah akibat dosa yang aku kerjakan.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/129-130)

Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang seperti Ahmad bin Hanbal. Kami berteman dengannya selama lima puluh tahun dan beliau tidak pernah membangga-banggakan kesalihan dan kebaikan yang ada pada dirinya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/137)

Abu Sulaiman berkata, “Seorang hamba tidak akan bisa menjadi tawadhu’ kecuali setelah mengenali jati dirinya sendiri.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/141)

Wahb bin Munabbih berkata, “Tanda orang munafik itu adalah membenci celaan/kritikan dan menggandrungi pujian.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/141)

Adalah Sufyan ats-Tsauri apabila orang menceritakan bahwa ada yang melihatnya di dalam mimpi -yang berisi pertanda baik- maka beliau berkata, “Aku yang lebih mengenali diriku sendiri daripada orang-orang yang bermimpi itu.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 5/146)

Demikian sedikit catatan yang bisa kami sajikan dalam kesempatan ini, semoga bermanfaat bagi kita semuanya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penyusun : www.al-mubarok.com

 

 


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-30/